Saturday, January 7, 2012

Sate Kulit


Foto: hasil browsing di Google (pinjam ya...)
Warung itu sangat sederhana. Tapi ramainya minta ampun. Tak hanya pada jam makan, di luar itu pun orang berbondong-bondong. Dari mulai yang berjalan kaki hingga yang duduk manis dalam mobil mewah tak ingin ketinggalan.

Padahal yang dijual sangat sederhana. Sate kulit yang dimakan dengan lontong atau nasi.

Dari pagi asap telah mengepul. Menebarkan bau harum. Mengundang perut-perut lapar untuk mendekat. Setiap hari warung buka dari jam sepuluh pagi hingga sepuluh malam hari.

"Rahasianya apa sih, Pak? Kok bisa satenya enak begini?" suatu hari ada sebuah majalah kuliner mewawancarai si empunya warung. Seorang bapak berkumis tebal.

"Haha... biasa saja, Dik. Tidak ada rahasia. Bumbunya juga biasa. Tidak ada beda dengan sate-sate yang lain. Tapi saya hanya pakai bahan-bahan yang masih segar saja. Terutama kulitnya." Jawab si bapak diplomatis.

Jam sepuluh malam warung tutup. Menyisakan pelanggan yang sudah antri tapi harus pulang dengan kecewa. Dalam hati mereka berjanji, esok akan datang lebih pagi.

Si pemilik warung memencet tombol di ponselnya.
"Bisa diantar lagi kulitnya, Pak?"
"Bisa... bisa... sudah saya siapkan."
"Tidak bisa ditambah lagi stocknya? Setiap hari selalu kurang."
"Tidak bisa, Pak. Ini sudah diusahakan cari dari sana-sini."

Lewat tengah malam, sebuah mobil bak berhenti depan warung. Si supir, menurunkan peti-peti yang telah diberi es dan membawanya ke dalam warung. Ia menghampiri si empunya warung dan berbisik.

"Musim libur sekolah sudah lewat, Pak. Anak-anak yang sunat semakin sedikit."

1 comment:

Anonymous said...

kok bisa bisa nya sih...kepikiran aja, lagi ngelamunin apa :P