Thursday, April 24, 2014

Typo




Gambar hasil browsing dari google

Senyum laki-laki berpakaian perlente itu terkembang lebar. Percikan semangat pagi ini membuat dadanya berkobar-kobar. Segalanya berjalan sesuai rencana. Hanya tinggal hitungan jam, maka semua yang diinginkannya akan berada dalam genggaman.

Penyebabnya adalah laporan anak buahnya. Sebuah pesan gambar penuh dengan kobaran api dan bumbungan asap hitam. Sempurna. 

Di hadapannya, setumpuk pancake dengan siraman sirup maple dan potongan strawberry telah disiapkan sekretarisnya yang tak pernah luput tampil cantik dengan kedipan mata menggoda. Ditambah dengan segelas espresso panas, maka sempurnalah sarapan paginya hari ini.

Pesan gambar dari anak buahnya masih belum mencukupi rasa gembiranya. Ia ingin melihat langsung liputannya. Maka dengan sekali tekan, televisi layar datar itu pun menyala. 

"Kebakaran besar masih belum bisa dipadamkan. Penyebab kebakaran masih simpang siur. Ada yang mengatakan akibat hubungan listrik arus pendek, tetapi ada pula yang menduga bahwa kebakaran tersebut adalah disengaja. Namun, sampai saat ini belum ada bukti mengarah ke sana."

Segigit pancake manis itu membuat bibirnya tersenyum. Manis sekali. Seperti pagi ini. Sebuah konsep pusat perbelanjaan terbesar akan menjadi miliknya. Akan lebih besar dari Pasar Tanah Abang. 

Sebenarnya, separuh tempat perbelanjaan itu sudah menjadi miliknya. Namun, separuhnya lagi sungguh sulit untuk didapatkan. Memang sungguh keras kepala para pemiliknya. Tetapi, sekeras apapun, tak ada yang bisa melebihi kekerasan ambisinya. 

"Mobil pemadam kebakaran dari berbagai tempat mulai didatangkan. Sepertinya api yang membakar blok B semakin membesar."   

"Apa?!! Blok B?!!!" Laki-laki berperut seperti tempayan itu maju hingga sejengkal ke layar televisi. Memelototi bangunan yang merah menyala. 

Kali ini tidak hanya layar televisi yang berwarna merah. Mukanya pun mendadak ikut menyala. Dipencetnya tombol telepon dengan kasar.

"Bodoh!! Kubilang Blok D!! Kenapa malah Blok B?! Itu Blok milikku!! B*ngsat!!!"
"Maaf, Bos. Saya hanya menjalankan perintah sesuai yang diperintahkan Bos lewat sms semalam."

Laki-laki itu membuka telepon genggamnya dengan tangan gemetar dan gigi bergemeletuk penuh amarah.

08999889999
24/4/2014 23:15

blok b. laksanakan. jangan ada jejak.




Friday, May 10, 2013

Bukti Cinta

Gambar hasil browsing via google.


Lima perempuan cantik.

Penyidik memandang sambil terkagum-kagum. Semua tak ada cacatnya. Putih mulus menggoda.

"Saudari A, apa yang anda dapatkan dari saudara tersangka?"
"Mobil sedan, Pak," jawabnya lirih.

"Saudari B, apa yang telah saudara tersangka berikan kepada anda?"
"Kalung berlian, Pak."

"Saudari C, apakah benar rumah mewah di Pondok Indah itu pemberian saudara tersangka?"
"Benar, Pak."

"Saudari D, berapa uang yang ditransfer oleh saudara tersangka kepada anda?"
"Dua milyar, Pak. Sebanyak tiga kali."

Para penyidik menggeleng-gelengkan kepala melihat bukti-bukti yang disampaikan oleh keempat wanita simpanan tersangka korupsi yang lima hari lalu entah bagaimana bisa kabur dari tahanan.

"Yang terakhir, Saudari E, harta apa yang telah anda dapatkan?"
"Tidak ada, Pak."
"Bohong!"
"Sungguh, Pak."
"Tidak mungkin. Lalu, kenapa anda mau menjadi simpanannya?"
"Cinta..."
"Cih! Mana ada cinta hari gini!!"
"Benar, Pak. Bahkan saya jamin, beliau pun cinta kepada saya. Karena hanya saya yang mendapat hatinya."

Semua yang di ruangan tersebut mendadak menjadi mual ketika wanita cantik itu mengeluarkan gumpalan berbau busuk dari dalam tasnya.

Paku

Gambar dibrowsing dari google.

"Astaga! Kenapa pula motor ini? Padahal semalam sudah kucek semua. Mulai dari rem, lampu, isi bensin, ban, oli, rantai, bahkan spion. Tak ada satu pun yang terlewat. Tapi kenapa tiba-tiba motornya oleng?"

Hadi segera menghentikan motor dan menepikannya. Jalan raya pagi itu cukup padat. Maklum, jam berangkat kerja.

"Ya ampun! Kok bisa sih bannya kempes?" Hadi meninju ruang kosong. Kesal tak tertahankan.

"Gawat! Aku harus sampai tepat waktu. Ini adalah kesempatan emas yang kutunggu-tunggu selama belasan tahun. Tak boleh terlewat!"

Dengan panik, Hadi mencari-cari tukang tambal ban di sekitar tempat itu. Tapi apes. Tak ada satu pun yang terlihat. Putus asa, Hadi berniat meninggalkan begitu saja motornya di salah satu parkiran toko dan berganti dengan kendaraan umum. Tapi, sayangnya daerah itu tak dilewati oleh angkot atau yang lainnya. Bahkan tukang ojek pun tak ada.

Tetapi keberuntungan masih ada di pihaknya. Salah seorang yang kasihan kepadanya, menunjukkan satu arah. Di sana ada tukang tambal ban, katanya. Seperti kesetanan, Hadi mendorong motornya. Hatinya menjadi lega ketika di kejauhan terlihat ban-ban bekas digantungkan.

"Hei, Di. Kenapa motornya?" sapa si tukang tambal ban yang ternyata adalah kawannya.

"Kempes. Kena paku di jalan sana."

"Kok bisa? Memangnya kamu nggak ingat? Kan kamu yang mengajari aku supaya menyebar di sana, agar bengkelku selaris bengkelmu."

Mata Hadi melotot. Jantungnya nyaris copot. Apa lagi ketika melihat jam tua yang tergantung di bengkel kecil itu telah menunjukkan pukul 9. Waktu yang disepakati untuk wawancara kerja. Satu-satunya kesempatan untuk merubah nasibnya dari seorang tukang tambal ban menjadi karyawan telah hilang. Selamanya.


Friday, October 5, 2012

Sang Diva



Gambar hasil browsing dari google. Pinjam ya...


Diva baru telah terbit.
Semua mengelu-elukannya.
Setiap telinga terlena mendengarkan alunan suaranya. Bahkan ada yang rela tak tidur semalaman hanya untuk mendengarkan lagunya yang diputar berulang-ulang.

"Mbak, apa rahasianya sih suaranya bisa bagus begitu?"
Pertanyaan yang ke sekian kali dari media pencari berita. Semua ingin tahu. Kemudian menuliskannya sebagai headline sambil ditambahi berbagai bumbu.

"Tidak ada yang dirahasiakan. Sama seperti penyanyi yang lainnya, rajin latihan, jaga kesehatan, dan menyeleksi makanan. Biasa, kurangi yang berminyak-minyak saja." Jawab si Diva dengan anggun. Tatapannya penuh dengan rasa percaya diri. Sekujur tubuhnya gemerlapan bertaburkan perhiasan. Permata yang dahulu hanya dapat diimpikan, kini ada dalam genggaman. Ketenaran, kilat kamera, gemerlap panggung, kontrak dengan deretan angka yang menakjubkan, serta puja-puji dari penggemar telah ia dapatkan.

Apa lagi yang kurang?
Semua sempurna.
Bahkan dunia pun telah ia genggam.

Namun, tak ada yang tahu. Di sebuah desa di kaki bukit yang terpencil dan jauh dari peradaban, satu per satu penduduknya mulai bisu. Tiap kali sang Diva datang, satu pita suara pun hilang.